Selasa, 15 September 2009

Hatiku SebongKah Mimpi (cerpen EPS.1)

Kehilangannya?


Hampir enam bulan aku kehilangan sebuah keluarga kecil yang berkehidupan elite di tengah kota. Kini aku dipinggir jalan terlunta-lunta, diantara malam ku menangis sejadinya didekap dinginnya malam di temani lampu pijar tua dan bersama laron kecil yang selalu mengganguku ketika tabir mimpi menjelma dalam malam.
“Bangun?!!! Ini bukan tempat penginapan gratis yang kau bisa tempati seenaknya!!”. Seseorang dating dari arah lorong yang hitam berjalan memegang tongkat besar, yang ia pegang seakan ingin memukul kami, anak jalanan yang kelaparan, dengan jaket lusuhnya ia lempari kami.
“Dasar orang-orang miskin, sudah bodoOoh pemalass pula!”
Remuk hatiku, saat mendengar kata itu,. Gunam hatiku, dikira kami takkan bergeming bila terus-menerus diinjak-injak.
***
Malam itu yang buat ku begini.. dimalam yang dingin, dan tak satu cahaya pun dapat kulihat.
“Dinda, ini sudah malam bergegaslah tidur sebelum mimpi semakin jauh, tutup mata dan berdoalah. Semoga esok kan lebih baik”. Suara lembut itu menemaniku selama ini.
Tetapi keesokan harinya dipagi yang cerah bahkan amat cerah, tak kutemukan ia disampingku hingga saat ini hatiku terus bertanya-tang mungkin salahku tak berdoa dengan baik dimalam itu.
Sehingga ia pergi, ingkari janjinya tuk bersamaku, ingkari janjinya untuk saat melihatku.
Setiap hari kutatap kasur itu dimana aku terakhir kali ditidurkannya, karena tak ku temukan benda lain yang dapat ingatkanku dengannya.
“O.. ibu aku rindu padamu. Mengapa kau tak kunjung datang tepati janjimu tuk temani aku”. Hari telah kulewati tanpanya, aku hanya mampu menangis. ‘apa yang ku punya? Aku hanya seorang anak yang rindu ibunya’.
Tak seorang pun yang tahu ia pergi kemana, dan tak seorang pun yang aku punya.
Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17 aku berharap ibu cepat pulang, karena kau tak sanggup lagi menahan rasa rindu ini
“tok…Tok..” Aku segera bergegas lari menuruni tangga. Ibu… ibu.. hanya kata itu yang kuingat ‘AKU RINDU PADAMU’.
Tapi entah kenapa aku malah terhenti ketika akan melihat didepan pintu sana. Perlahan-lahan aku melangkah, serta perlahan ku buka pintu. Sedikit demi sedikit terbukalah pintu. Aku kecewa saat membuka pintu ternyata hanya beberapa polisi berpakaian seragam dinas yang kudapati. Dan alangkah amat terkejut, karena yang kudapati sebuah tas hijau kesayangan ibu yang berlumuran darah, tiba-tiba kakiku lemas tak sempat polisi itu berbicara aku telah terjatuh dan tak sadarkan diri.
***
Dirumah sakit, diantara lorong-lorong aku berlari menyusuri beberapa anak tangga dan memasuki sebuah kamar. Saat kulihat wajahnya, kakiku kembali terasa lemas rasanya sesak didada melihat senyumnya yang takkan lagi kudapat, bahkan melihat sinar matanya telah redup seakan tak berbekas.
“Ibu.. apakah ini esok yang kan lebih baik” terjatuh air mata dipipiku, atau bahkan tak hanya sekedar terjatuh. Tetapi bercucuran membasahi hati ini. Orang-orang hanya diam dan membisu tak mampu berkata saat ia terbujur kaku.

Mereka tak mengerti dan tak mau mengerti. Hanya Misca sahabat kecilku yang tetap disampingku. Sampai suatu saat ia meninggalkanku. Dan yang ku tahu sekarang dia seorang ‘PEMBOHONG’
“Dinda, maafin gue. harus pergi untuk menerusin kuliah .Tapi gue janji taon depan gua bakal balik buat jemput loe”
Seluruh tubuhku lemas seketika,meski saat itu ia memelukku sangat erat. Ku takan kembali tegar nsebelum terucap kalimat perpisahan itu.
Aku dan dia bagai saudara kembar ang sulit dipisahkan tapi kali inimalah ia yang tinggalkan aku. Dan ku benar-benar merasa sendiri.
Hari-berganti hari ku tunggu apakah ia akan dating?kalender pun seakan tiada tempat untuk kutulis lagi. Kini ku hanya dapat menyesal karena tak sempat ku ucap kan kata-kata itu (bersambung...)

next page